Jumat, 24 September 2010

Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

(Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain)
Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.
Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.
Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali
Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Hadits Pertama

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi  beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani (memberitakan kepadaku).
Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.

Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :
Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :
‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.

Hadits Kedua

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah  mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

KesimpulanSeluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan

Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.

Derajat Hadits

Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).

Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.

Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.

Disalin kembali dari: http://salafivilla.blogspot.com/

Sabtu, 14 Agustus 2010

HUKUM MEMOTONG JENGGOT

oleh: Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman


Pertanyaan:
Tolong jelaskan tentang hukum mencukur jenggot dan memotong kumis berserta
dalil-dalilnya !

Jawaban:
Diharamkan mencukur, memotong, mencabut dan membakar jenggot. Allah Subhanahu wa Ta'la berfirman.

Artinya: Dan benar-benar telah Aku muliakan anak cucu Adam. [Al-Isra : 70]

Al-Baghawi rahimahullah berkata, Ada yang menafsirkan bahwa Allah memuliakan kaum laki-laki dengan jenggotnya dan memuliakan kaum wanita dengan (panjang) rambutnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

Artinya : Apa saja yang datang dari Rasul, maka ambillah, dan apa yang
dilarang oleh Rasul maka tinggalkanlah? [Al-Hasyr : 7]

Allah juga berfirman.

Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih? [An-Nur : 63]

Dan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ?nhu, dia berkata, ?asulullah
Shallallahu ?laihi wa sallam bersabda.

Artinya : Potonglah kumis dan biarkan jenggot, selisilah orang-orang majusi.
[Hadits Riwayat Ahmad II/365, 366 dan Muslim 260]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam, beliau bersabda.

Artinya : Selisihilah orang-orang musyrik (dengan cara) melebatkan jenggot
dan memendekkan kumis. [Hadits Riwayat Bukhari 5553 dan Muslim 259]

Imam Ahmad [Lihat Al-Musnad II/366] meriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda.

Artinya : Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. Janganlah kalian
menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahun anhu secara marfu.
(yaitu hadits yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam).

artinya : Janganlah kalian menyerupai orang-orang asing ; panjangkanlah
jenggot.

Ibnu Umar Radhiyallahu anhu berkata, rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
telah bersabda.

artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari
mereka. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 4031 dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu,
sedangkan Al-Bazaar meriwayatkannya dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu
VII/368]

Dari riwayat yang lain dari Amru bin Syau'aib dari bapaknya dari kakeknya
dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda.

artinya : Bukan termasuk dari golongan kita orang yang tasyabbuh kepada
selain kita (menyerupai orang kafir). Janganlah kalian semua menyerupai
orang-orang Yahudi dan Nashrani? [Tirmidzi 2695, beliau berkata : ?adits ini
sanadnya dhaif.

Dan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu (dengan lafal).

artinya : Barangsiapa menyerupai mereka sampai dia mati, maka akan
dikumpulkan bersama mereka.

Dari Zaid bin Arqom, dia berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam telah bersabda.

artinya : Barangsiapa yang tidak memotong (memendekkan supaya tidak menutupi
bibirnya) maka bukan termasuk dari golongan kami. [Hadits Riwayat Ahmad,
Tirmidzi dan Nasa'i]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata.
artinya : Adalah beliau Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotong
atau mencukur sebagian kumisnya dan demikian pula yang dilakukan Nabi
Ibrahim ahaliilurrahmaan shalawaatullah alaihi? [Hadits Riwayat Tirmidzi]

Muhaddits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah- telah
menjelaskan hukum mencukur jenggot dalam kitabnya, Adabu Az-Zifaf,
hal.118-123. Beliau berkata : mencukur jenggot termasuk adat kebiasaan yang
sangat buruk bagi orang yang fitrahnya masih sehat, dan itu adalah sebuah
bencana yang telah menimpa sebagian besar kaum laki-laki, yaitu berhias diri
dengan cara mencukur jenggot yang itu tidak lain hanya karena ikut-ikutan
kepada orang kafir Eropa. Sampai-sampai menjadi aib bagi mereka apabila ada
laki-laki yang menikah kemudian menjumpai istri barunya dalam kondisi tidak
mencukur jenggotnya. Bahkan ada kesesatan lain dalam masalah ini yaitu
mereka membiarkan jenggotnya ketika ada salah seorang kerabat karibnya yang
wafat (sungguh bukan mata kepala mereka yang buta akan tetapi mata hati
mereka yang buta). Dan orang yang mencukur jenggot berarti masuk dalam
beberapa penyimpangan, diantaranya adalah :

Merobah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Nisaa ayat 118-119

artinya : Yang dilaknati Allah dan syaithan itu mengatakan, saya benar-benar
akan mengambil dari hamba-hamba Mu bagian yang sudah ditentukan (untuk
saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong kepada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga
binatang-binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku
suruh mereka (merobah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka merobahnya.
Barangsiapa yang menjadikannya syaithan menjadi pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.

Ini adalah nash yang jelas menjelaskan tentang hukum merubah ciptaan Allah
Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada izin dariNya, yang berarti telah mentaati
perintah Syaithan, dan bermaksiyat kepada Al-Rahman. Maka sudah pasti bahwa
laknat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu dimaksudkan kepada
orang-orang yang merobah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tujuan
(prasangka) supaya lebih baik (dari yang sebelumnya), maka tidak diragukan
lagi perkara cukur jenggot dengan tujuan supaya lebih ganteng ini (!?)
termasuk di dalamnya. Pelaknatan tersebut termasuk dalam mencukur jenggot
sebagaimana yang telah saya katakana dan itu sangat jelas, tanpa adanya izin
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, supaya tidak ada orang yang menyangka
(sebaliknya) bhawa yang termasuk dalam perobahan tersebut adalah seperti
mencukur bulu kemaluan atau yang sejenisnya yang telah dizinkan oleh
syariat, bahkan di sunnahkan atau diwajibkan.

Perbuatan tersebut menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, sabda beliau.

artinya : Potonglah kumis dan peliharalah jenggot. [Hadits Riwayat Bukhari
dan Muslim]

Arti dan kata inhakuu adalah sempurnakan dalam memotong, dan maksud sempurna
dalam memotong disini adalah memotong apa yang lebih (menutupi) bibir bukan
mencukur bersih itu menyelisihi sunnah shahihah yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Untuk itu Imam Malik ketika ditanya
tentang orang yang memanjangkan kumisnya berkata, saya berpendapat dicambuk
supaya bertaubat. Beliau berfatwa bagi orang yang mencukur kumisnya, ini
adalah satu kebid'ahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Riwayat
Al-Baihaqi 1/151 lihat Fathul Al-Bari 10/285-286]

Karena itulah Imam Malik tidak mencukur kumisnya. Ketika ditanya tentang hal
itu beliau berkata, telah berkata kepadaku Zaid bin Aslam dari Amir bin
Abdillah bin Az-Zubair bahwasanya Umar Al-Khaththab Radhiyallahu anhu
apabila marah berdiri bulu kumisnya. Riwayat At-Thabari di Mu'am Al-Kabir
1/4/1 dengan sanad yang shahih.

Telah diketahui di sana ada kaidah, perintah itu mengandung faidah wajib,
kecuali ada qarinah (tanda yang menunjukkan tidak wajibnya perintah
tersebut). Padahal qorinah (tanda) yang ada disini memperkuat hukum wajibnya
memelihara jenggot, yaitu.

1. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

artinya : Potonglah kumis, peliharalah jenggot dan selisihilah orang-orang
majusi. [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Yang juga menambah kuatnya hukum wajib memelihara jenggot adalah :

2. Menyerupai Wanita.
Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam benar-benar telah melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai
laki-laki [Hadits Riwayat Bukhari X/274]. Dan tidak tersembunyi lagi
bahwasanya laki-laki yang mencukur jenggot yang telah Allah Subhanahu wa
Ta'ala berikan kepadanya sebagai pembeda bagi kaum laki-laki dengan
perempuan, maka mencukur jenggot merupakan penyerupaan laki-laki dengan
wanita yang paling besar.

Semoga apa yang telah kami sampaikan berupa sebagian dalil-dalil yang ada
bisa memuaskan orang-orang yang terkena cobaan dengan penyelisihan ini.
Semoga Allah mengampuni kita semua dan mengampuni mereka dari semua yang
tidak disukai dan diridhaiNya. Amiin

[Disalin dari kitab Al-As?lah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi
Al-Adillah Asy-Syar?yyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa
05/I/Dzulqa?dah 1424H -2003M]

Diposting ulang dari http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/29063