Selasa, 03 Agustus 2010

GREEN CITY, Kota Hunian Masa Depan

Pemanasan global atau global warming merupakan gejala peningkatan suhu atmosfer bumi sebagai akibat dari efek gas rumah kaca (GRK). Naiknya suhu rata-rata permukaan Bumi adalah gejala nyata yang kian berpengaruh dan mengkhawatirkan. Sebagai efeknya, berbagai bencana besar pun menimpa. Naiknya permukaan air laut, kekeringan, banjir bandang, badai dan topan adalah sebagian gejala yang kini semakin acap terjadi. Leganya, pengaruh pemanasan global masih memungkinkan diminimalisir meskipun dalam skala mikro. Mewujudkan ‘Green City’ adalah satu solusinya. Isu pemanasan global (GW) menjadi topik utama pembicaraan seputar perubahan iklim bumi. Prediksi tentang bagaimana iklim bumi pada tahun-tahun mendatang menyisakan kekhawatiran yang mendalam. Bencana besar mengancam kehidupan di muka bumi. Data iklim sejak beratus tahun lampau dan didukung analisis ilmiah yang akurat, menunjukkan bukti nyata naiknya suhu rata-rata permukaan Bumi.

Sebagian kejadian faktual telah terjadi. Efek yang ditimbulkan oleh pemanasan global merupakan awal atau sebab dari bencana berikutnya, dan demikian seterusnya. Naiknya suhu rata-rata permukaan Bumi; meleburnya gunung-gunung es di kedua kutub; mengamuknya badai dan topan akibat ekstrimnya perbedaan tekanan udara di dua kawasan secara drastis; kekeringan dan banjir bandang yang silih berganti; naiknya permukaan air laut; tenggelamnya pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir; dan seterusnya adalah contoh untaian peristiwa sebagai efek dari pemanasan global.

Perkotaan merupakan ruang yang memiliki karakteristik spesifik yang membuatnya lebih ‘rawan’ dan lebih awal menuai pengauh buruk GW. Perkotaan, khususnya kota besar dapat dikonotasikan dengan suatu kondisi berupa ruang yang disesaki gedung, tembok, hamparan aspal, bentang atau pancang baja, lalu lintas padat dan macet, udara dan perairan yang tercemar, kebisingan yang tinggi, dan sebutan lainnya yang kontradiktif dengan lingkungan yang nyaman dan damai. Kondisi ini menampilkan situasi iklim kota yang marginal, utamanya suhu udara yang panas. Bukan lagi hal yang pantas dikagumi jika sebuah kota dihiasi dengan deretan gedung mewah ‘pencakar langit’, karena memang demikian lah seharusnya wajah sebuah kota. Namun yang patut membuat kita sedih apabila sebuah kota tidak lagi memiliki pepohonan yang hijau.
Sehingga yang pantas dikagumi adalah sebuah kota yang mampu menampilkan panorama ‘kota hijau’ (green city).Tapi sudah seberapa kota yang menyadari dan memperhatikan urgensi hijauan kota sebagai komponen utama lingkungan yang sehat bagi warga kota. Geliat pembangunan ekonomi di perkotaan seakan tidak menyisakan waktu untuk memberi perhatian terhadap perlindungan lingkungan hidup. Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip, Prof.DR. Sudharto P. Hadi (2005) mengemukkan bahwa menghargai lingkungan menjadi syarat utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dengan demikian adalah upaya pembangunan yang melarutkan unsur lingkungan dalam pertimbangannya.

Jelas lah bahwa kota yang tidak mengakomodasi aspek lingkungan dalam pembangunannya bukanlah kota masa depan. Tetapi, paling tidak gejala pemanasan global mampu menggugah kesadaran kita. Dengan tulisan ini minimal dapat membersitkan di benak kita bahwa hijauan kota mampu meredam berbagai dampak pemanasan global.

Kota Hijau (green city)

Kota hijau (green city) dimaksudkan sebagai suasana sebuah kota yang strukturnya memiliki komponen hijauan (pepohonan) dengan pola-pola tertentu sebagai satu kesatuan dari penataan ruang kota, sehingga memberi karakter bagi profil kota itu. Komponen yang ditonjolkan pada kota hijau adalah hijauan kota, yang sering dikonotasikan dengan hutan kota. Hutan kota dapat berupa taman kota, kebun raya (seperti di Bogor), hutan wisata, taman ternak, arboretum, jalur hijau, kebun binatang, agro wisata, cagar alam, dsb. Idealnya hijauan kota terdiri atas berbagai jenis atau spesies tumbuhan dengan beragam strata. Hal ini akan mampu menghadirkan sebuah kesatuan ekosistem biotik dan abiotik yang benar-benar alami.

Di dalam PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota didefinisikan bahwa, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Fungsi Hijauan Kota

Kaitannya dengan perubahan iklim global, tumbuhan pada kota hijau sangat berperan dalam stabilisasi iklim mikro serta menciptakan udara yang sehat. Keberadaan tetumbuhan di seantero kota berperan tidak ubahnya sebagai paru-paru kota. Tetumbuhan akan menyaring udara kota yang terpolusi sehingga dihasilkan udara yang sehat, segar dan layak bagi hunian dan berbagai aktivitas. Proses metabolisme fisiologis yang kompleks di dalam tumbuhan menghasilkan dampak positif yang menakjubkan bagi terciptanya kenyamanan kota sebagai hunian. Menurut Roseland (1992), bahwa greening the city merupakan perpaduan antara suasana kota yang urban dan alami. Kombinasi dua komponen ini akan menciptakan kota yang sehat, beradab dan nyaman sebagai tempat hidup.

Fungsi tumbuhan atau pepohonan sebagai bagian dari struktur kota yang erat kaitannya dengan stabilisasi iklim mikro dan perwujudan udara sehat di perkotaan, antara lain :


Menyerap dan menjerap partikulat dan gas polutan dari udara

Tidak diragukan lagi bahwa aktivitas manusia di perkotaan menghasilkan beragam partikulat dan gas polutan yang terakumulasi di udara. Selain itu, kendaraan bermotor dan asap pabrik industri menghasilkan timbal yang merupakan polutan utama di perkotaan. Udara yang terus terakumulasikan polutan akan semakin kurang layak bagi kehidupan yang sehat. Kondisi ini lebih menghawatirkan di kota pesisir yang kerab diterpa angin laut yang membantu mengangkat dan menyebarkan polutan.

Diperlukan adanya normalisasi udara agar senantiasa layak bagi kehidupan warga kota. Tumbuhan memiliki kemampuan secara alami untuk menetralisir berbagai partikulat asing dan gas polutan di udara. Partikulat dan gas polutan yang tersuspensi pada lapisan biosfer dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Pepohonan secara kontinu menjaring partikulat dan gas polutan dari udara. Dengan keberadaan tumbuhan akan terjadi proses pembersihan (normalisasi) udara secara alami dan berkesinambungan di perkotaan.

Udara termasuk sumber alam yang tidak terbatas dan bersifat barang publik (tidak diperjual belikan). Mungkin karena itu, sehingga kita kurang peduli untuk menjaganya. Namun perlu diingat, mutu udara akan semakin rendah jika tidak dipelihara daya dukungnya sebagai salah satu ‘unsur’ utama yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Sudah saatnya kita memperhatikan eksistensi tumbuhan di perkotaan sebagai mesin pembersih udara. Mesin pembersih yang menghasilkan udara yang dijamin sehat, segar, dan nyaman bagi kehidupan kota.


Penyerap Karbon

Akumulasi gas karbon diudara hingga melewati ambang batas toleransi akan bersifat racun bagi kehiduan. Emisi karbon saat ini disinyalir sebagai gas rumah kaca paling berpengaruh terhadap pemanasan global. Secara alami, tumbuhan berfungsi mengurangi beban atmosfer dari akumulasi gas rumah kaca, dalam hal ini gas karbon.

Tumbuhan merupakan penyerap gas karbon (C) yang efektif. Klorofil sebagai gudang pigmen hijau (chloroplast) pada daun tumbuhan menjadi pabrik luar biasa produsen tepung (karbohidrat). Dalam proses fotosintesis terjadi absorbsi gas karbondioksida (CO2) yang diasimilasikan dengan air dengan menggunakan energi cahaya matahari. Proses ini memiliki nilai plus yang lain, yaitu menghasilkan gas oksigen (O2).

Mengurangi Fluktuasi Suhu Udara

Aktivitas dan mobilitas yang tinggi di perkotaan memicu peningkatan suhu udara. Situasi ini akan terus meningkat seiring semakin meningkatnya kepadatan penduduk, luas jalan, jumlah kendaraan, padatnya gedung, berkembangnya kawasan industri besar, dan lain-lain. Hal ini menjadi masalah penting yang mesti ditemukan solusinya. Kondisi ini kian menghawatirkan warga kota ketika gejala pemanasan gobal mulai berpengaruh. Meningginya suhu udara sangat mengurangi nilai kenyamanan kota sebagai tempat beraktivitas dan hunian.

Keberadaan tumbuhan menjadi solusi tepat mengurangi pemanasan kota. Kemampuan alami tumbuhan dalam menyejukkan udara sekitarnya tidak diragukan lagi. Bukti konkrit pada siang hari yang sangat terik sekalipun, udara tetap sejuk dan nyaman di bawah tajuk pohon. Sebuah pelajaran berharga dari hutan alam bahwa, kesempurnaan fungsi tumbuhan akan didapatkan jika tersusun atas berbagai jenis dan starata tajuk.

Web site Departemen Kehutanan (2007) melansir pendapat Grey dan Deneke (1978) dan Robinette (1983) bahwa, hutan kota dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar suhu pada siang hari tidak terlalu panas, dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi.

Pelestarian Air Tanah

Salah satu dampak pemanasan global adalah makin tingginya intensitas kekurangan (defisit) air. Sebagai contoh, media massa cetak dan elektronik sepanjang bulan Agustus – September 2007 dihiasi berita kekeringan dan kekurangan air bersih beserta berbagai dampaknya, khususnya di pulau Jawa. Jika dirunut, catatan media itu cukup memberikan indikasi bahwa penyebaran dan akibat buruk dari kekeringan dari tahun ketahun kian menghawatirkan.

Permasalahan defisit air di musim kemarau merupakan gambaran tidak berfungsinya sistem hidrologi. Sebagai ilustrasi pada ekosistem hutan, air hujan (presivitasi) sebagian besar terserap (ternfiltrasi) ke dalam tanah. Infiltrasi sangat didukung oleh porositas permukaan lantai hutan yang kaya bahan organik dan bersifat higroskopis. Selama di dalam tanah, air tersebut mengalami aktivitas yang kompleks secara fisik, kimia dan biologi. Pada gilirannya, air tanah akan disalurkan secara kontinu dalam debit yang relatif konstan dengan wujud mata air. Mata air ini akan terus mengalir jernih sepanjang tahun tanpa banyak terpengaruh oleh musim. Demikianlah mekanisme penyimpanan air pada ekosistem hutan.

Menurut Soeriaatmadja (1997), hutan memberikan pengaruh kepada sumber alam melalui tiga faktor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu iklim (khususnya iklim mikro), tanah, dan pengadaan air. Pepohonan mempengaruhi struktur tanah dan erosi, sehingga jika tidak ada pepohonan, air hujan akan mengalir deras, membawa partikel tanah permukaan, yang kemudian bercampur menjadi lumpur. Peristiwa ini sekaligus menutupi pori tanah di permukaan, sehingga pada hujan berikutnya, lebih banyak lagi air yang mengalir di permukaan, karena makin kurangnya daya serap tanah.

Sangat lain halnya di perkotaan yang disesaki bangunan. Air hujan meluncur tajam langsung menerpa lantai kota yang kedap air, tak terkecuali halaman rumah hunian. Air pun terus menuruti wataknya megalir mencari tempat yang lebih rendah. Sangat sedikit yang sempat nyelonong masuk ke dalam lapisan tanah. Ketika curahan hujan berlimpah, akan terjadi luapan air di mana-mana. Sangat ironis, bahwa di atas permukaan tanah berlimpah air yang ‘kebingungan’ mencari jalan untuk masuk kedalam tanah sementara di bawah permukaan tanah justru terjadi defisit air.

Keberadaan tumbuhan di perkotaan akan memiliki fungsi ganda. Pertama, menghadang kecepatan jatuh air hujan sehingga lebih kondusif terinfiltrasi. Sistem perakaran tumbuhan menciptakan porositas tanah yang memudahkan pergerakan air ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam. Mekanisme ini akan menjamin ketersediaan air tanah sepanjang tahun di perkotaan. Kedua, efektif sebagai pengendali banjir dan genangan.

Fugsi hijauan kota yang telah diuraiakan di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak fungsinya, apalagi jika ditinjau dari berbagai aspek. Dalam web site Departemen Kehutanan (September 2007), disebutkan beragam fungsi hutan kota, di antaranya :

* Pelestarian plasma nutfah
* Penahan dan penyaring partikel padat dari udara
* Penyerap dan penjerap partikel timbal
* Penyerap dan penjerap debu semen
* Peredam kebisingan
* Mengurangi bahaya hujan asam
* Penyerap karbon dan penghasil oksigen
* Penyerap dan penapis bau
* Mengatasi penggenangan
* Mengatasi intrusi air laut
* Produksi terbatas
* Ameliorasi iklim
* Pengelolaan sampah
* Pelestarian air tanah
* Penapis cahaya silau
* Meningkatkan keindahan dan industri pariwisata
* Sebagai habitat burung
* Mengurangi stress
* Mengamankan pantai terhadap abrasi
* Sebagai hobi dan pengisi waktu luang

Sebagai penutup dapat ditarik simpulan bahwa, fungsi eksistensi tumbuhan kota hijau (green city) yang berkaitan erat dengan upaya meminimalisir efek ‘pemanasan global’ serta upaya menciptakan udara yang layak bagi kehidupan warga kota, di antaranya sebagai berikut:

* Menyerap dan menjerap partikel padat dan partikel timbal dari udara;
* Penyerap karbon;
* Mengurangi fluktuasi suhu udara;
* Pelestarian air tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar